Alhamdulillah…Ternyata, buku karya Mufti Agung Mesir, Prof Dr. Ali Jum’ah banyak diminati kaum terdidik. Tidak menyangka, ternyata laris manis. Saya bersyukur karena generasi Muslim kita tahu bagaimana harus belajar, dan tidak mudah terbawa hasutan kelompok lain. Buku ini memang layak menjadi rujukan bagi mereka yang haus pengetahuan agama.
Sebagai hadiah atas rasa syukur saya, berikut saya kutip penjelasan dalam buku ini tentang pemahaman konsepsi Bid’ah yang salah dari kelompok yang sering menyebut diri mereka pembela Sunnah.
Prof Dr. Ali Jum’ah menjelaskan:
“Di antara keburukan yang menggerogoti kaum ekstrem itu adalah memperluas pemahaman bid’ah sehingga mereka mengklaim adat istiadat maupun tradisi yang dilakukan kaum muslimin sebagai bid’ah dan sesat. Hal ini dikarenakan mereka menganggap segala sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW Adalah bid’ah. Maka tidak boleh dikerjakan, implikasinya ketika mereka melihat ada orang menengadahkan tangannya saat berdoa, maka mereka akan menghardiknya dan mengatakan perbuatan itu bid’ah. Alasannya, Rasulullah tidak pernah melakukan hal seperti itu. Begitu pula, ketika ada yang mengajak mereka bersalaman sehabis shalat, maka mereka akan memberitahu bahwa perbuatan itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dan masih banyak contoh lainnya. Pertanyaannya, apakah benar perbuatan yang ditinggalkan [atau tidak dilakukan] Rasulullah SAW, itu termasuk bid’ah dan sesat?
Para ulama di seantero dunia, baik salaf ataupun khalaf, semuanya sepakat bahwa at-tarku [apa yang ditinggalkan] bukanlah salah satu metode yang bisa digunakan secara terpisah dalam perumusan hukum [istidlal]. Tetapi, metode yang bisa digunakan untuk menetapkan hukum syar’i, baik wajib, sunnah, mubah atau makruh itu adalah datang dari nash Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas.
At-Tarku pada dasarnya tidak menunjukan hukum syar’i. ini sudah menjadi kesepakatan para ulama. Ada banyak dalil yang menunjukan bahwa para sahabat tidak memahami di dalam tarku-nya Rasulullah SAW, terdapat keharaman, bahkan sampai kemakruhan pun tidak. Inilah pemahaman para ulama sepanjang masa. Ibnu Hazm pernah membantah hujjah ulama Malikiyyah dan Hanafyah yang mengatakan makruh hukumnya shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib, karena Abu Bakar, Umar dan Usman tidak pernah melakukannya. Ibnu Hazm menjelaskan, “Sesungguhnya, meninggalkan shalat tersebut [shalat sunnah sebelum maghrib] tidak berarti apa-apa, selama mereka tidak mengatakan secara jelas mengenai kemakruhannya. Pada kenyataannya, penjelasan itu tidak pernah dinukil.”
Itulah metode Ibnu Hazm dalam menanggapi tarku – nya para sahabat dalam sebuah ibadah tertentu. Sikap yang sama juga ditunjukan ketika menanggapi tarku Rasulullah mengenai sebuah ibadah yang memang diperbolehkan, seperti ketika berbicara tentang shalat sunnah dua rakaat sebelum ashar. Ia berkata, “Hadist Ali bin Abi Thalib ra. Tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali [dalam masalah di atas], karena yang ada dalam hadist tersebut hanyalah pemberitahuannya atas apa yang diketahui. Ia [Ali] tidak pernah melihat Rasulullah melakukan shalat tersebut. Ia memang benar dalam perkataanya, tapi ini bukan berarti mengandung makna melarang atau memakruhkan shalat tersebut. Rasulullah tidak pernah berpuasa sebulan penuh di luar Ramadhan. Namun, ini tidak berarti mengandung makna memakruhkan puasa sunnah satu bulan penuh [di luar Ramadhan].”
Di sini, Ibnu Hazm memahami tarku Rasulullah SAW atas puasa sunnah satu bulan penuh di luar Ramadhan tidak bisa menunjukan hukum haram atau makruhnya berpuasa seperti itu, sekalipun Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melakukannya.
Rasulullah tidak pernah melakukan khotbah di atas mimbar, namun beliau melakukannya di atas pelepah kurma. Kendati demikian, para sahabat tidak mempunyai pemahaman bahwa berkhotbah di atas mimbar itu hukumnya bid’ah atau haram. Karena itu, mereka lantas membuatkan mimbar untuk Rasulullah saw. berkhotbah. Bukankah mereka ini orang-orang yang tidak pernah melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah SAW? Jika demikian, dapat diketahui bahwa para sahabat tidak menjadikan tarku Rasulullah SAW sebagai bid’ah.
Rasulullah SAW ketika shalat, tepatnya setelah mengangkat kepala dari rukuk, beliau tidak pernah membaca doa: “rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran….” dan seterusnya, seperti yang terdapat dalam sebuah hadist. Tetapi, hal ini tidak dipahami oleh seorang sahabat sebagai larangan untuk membaca doa tersebut. Jika tidak demikian, mana mungkin ia (sahabat), mau melakukan sesuatu yang diyakini keharamannya? Rasulullah SAW sendiri tidak mencelanya, karena telah membaca doa tersebut.
Dan, beliau juga tidak melarang membaca doa-doa lainnya di dalam shalat.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rafi Az-Zuraqi, ia berkata, “Suatu hari, kami pernah shalat di belakang Rasulullah SAW. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau membaca, “sami’allahu liman hamidah.” Seseorang laki-laki dari belakang beliau membaca, “Rabbana walakal-hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi.” Lantas setelah shalat beliau bertanya, “Siapa yang tadi membaca doa itu?”
Lelaki itu menjawab, “Aku.”
Beliau bersabda, “Aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya.” (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, Nasai, Ahmad, Malik dan Al-Baihaqi)
Sahabat Bilal r.a. tidak memahami bahwa tarku Rasulullah SAW mengenai shalat sunnah dua rakaaty setelah wudhu bermakna tidak boleh melaksanakan shalat itu. Tetapi, Bilal melakukannya dan tidak pernah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau baru mengetahuinya setelah beliau bertanya kepada Bilal.
“Hai Bilal, ceritakan kepadaku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya), yang engkau kerjakan dalam Islam (setelah memeluknya). Karena, sesungguhnya aku mendengar suara langkah kedua sandalmu di dalam surga.”
Bilal menjawab, “Aku tidak mengamalkan amalan yang paling aku harapkan pahalanya, kecuali setelah aku bersuci, baik saat petang ataupun siang, lalu aku shalat yang tidak diwajibkan kepadaku dengan bersuci itu.” (HR Al-Bukhari)
Bilal r.a. sesungguhnya telah membuat “shalat sunnah” untuk dirinya sendiri pada waktu tertentu, padahal Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah mencontohkan atau memerintahkannya. Bilal baru mengabarkannya tentang rahasia amalannya tersebut setelah Nabi bertanya. Bukankah dari kisah ini dapat disimpulkan bahwa amalan tersebut tidak pernah dilakukan Nabi, lalu Bilal memberitahukan, maka akhirnya amalan ini pun diakui oleh Rasulullah. Sehingga, kita di generasi setelah Rasul menyebut bahwa shalat setelah wudhu adalah sunnah, sebagaimana yang dilakukan Bilal.
Kita mengambil dalil dari pemahaman sahabat mengenai dibolehkannya membuat doa atau shalat baru di waktu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kami juga mengambil dalil bahwa Rasulullah SAW tidak mengingkari metode dan cara yang ditempuh sebagian sahabatnya, bahkan tidak melarang mereka untuk melakukannya di masa-masa mendatang.”
--Prof Dr. Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, Al-Mutasyaddidun Manhajuhum wa Munaqqasyatu Ahammi Qadhaayaahum